Sedekah Bumi: Warisan Syukur dari Tanah Kaliprau
Setelah bulan Ramadhan usai, masyarakat Desa Kaliprau bersiap menyambut satu tradisi penting yang begitu bermakna yaitu sedekah bumi. Tradisi ini telah lama menjadi bagian dari ritme kehidupan desa atau sebuah wujud syukur atas hasil panen yang diberikan oleh alam. Digelar di halaman balai desa, masyarakat berkumpul masing-masing membawa makanan atau hasil bumi dari ladang dan kebun mereka. Semua dikumpulkan, disusun rapi, dan didoakan bersama dalam suasana yang khidmat dan penuh kebersamaan lalu disantap secara kolektif.
Sedekah bumi bukan sekadar upacara simbolik. Lebih dari itu, ia menjadi ruang untuk menghormati leluhur dan mengingat kembali asal-usul tanah yang mereka pijak. Dalam kesempatan ini, para sesepuh desa akan kembali mengisahkan sejarah Kaliprau, bagaimana desa ini berdiri, siapa yang membuka lahan pertama, dan bagaimana nilai-nilai hidup diwariskan dari generasi ke generasi. Dari kisah-kisah itulah, identitas kolektif masyarakat Kaliprau dibentuk dan dipertahankan. Anak-anak dan remaja duduk menyimak, menerima warisan yang tak tertulis namun mengakar kuat di dalam jiwa mereka: warisan rasa syukur, rasa hormat, dan rasa memiliki terhadap tanah kelahiran. Sedekah bumi bukan hanya sebuah tradisi, namun menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan. Sebuah pengingat bahwa keberkahan bukan hanya datang dari hasil panen, tetapi juga dari kebersamaan dan ingatan kolektif yang terus dijaga.
Tradisi Sedekah Bumi di Kaliprau bukan hanya ungkapan syukur kepada alam, tetapi juga menjadi ruang bersama yang mempererat solidaritas sosial antarwarga dalam suasana yang damai dan setara, dimana hal ini selaras dengan Sustainable Development Goals (SDGs) Desa nomor 16 “Desa Damai Berkeadilan”. Di saat yang sama, keterlibatan kelembagaan desa dalam mengorganisir tradisi ini menunjukkan bagaimana budaya lokal dapat tetap hidup dan relevan di tengah perubahan zaman, mencerminkan SDGs Desa nomor 18 “Kelembagaan Desa Dinamis dan Budaya Desa Adaptif”. Sedekah Bumi adalah bukti bahwa harmoni sosial dan kekuatan budaya dapat berjalan beriringan menuju pembangunan desa yang berkelanjutan.
Nyadran: Ziarah Spiritual Menuju Kesucian
Nyadran adalah tradisi yang khas bagi Kaliprau, sebuah bentuk kepercayaan masyarakat lokal yang secara rutin dijalankan menjelang tibanya bulan puasa. Dalam prosesi ini, warga bersama-sama mendatangi untuk melakukan doa dan ritual penghormatan kepada leluhur. Lebih dari sekadar tradisi ziarah, Nyadran menjadi budaya yang ikut menyatukan spiritualitas, sejarah, dan rasa hormat terhadap leluhur. Ini menjadi refleksi dari kedalaman budaya lokal yang mengutamakan kesucian, keterhubungan antar generasi, dan ketundukan pada nilai adiluhung, suatu nilai yang sangat relevan dalam membangun narasi diplomasi budaya yang menyejukkan dan damai.
Tradisi nyadran, yang masih lestari di kalangan masyarakat setempat, biasanya dilaksanakan sekali dalam setahun menjelang bulan puasa. Dalam pelaksanaannya, masyarakat berkumpul dan membawa selamatan, berupa makanan yang dihaturkan sebagai bentuk doa bersama untuk para leluhur. Meski sederhana, kegiatan ini menjadi momen penting untuk memperkuat ikatan sosial dan melestarikan nilai-nilai spiritual yang diwariskan secara turun-temurun.
Dibalik kesakralannya, Nyadran mencerminkan nilai-nilai perdamaian, kebersamaan, dan penghormatan lintas generasi yang sejalan dengan SDGs Desa Tujuan 16: Desa Damai Berkeadilan. Keberlanjutan tradisi ini juga menjadi bukti bahwa budaya lokal Kaliprau terus dijaga dan dijalankan secara kolektif, mencerminkan Tujuan 18: Kelembagaan Desa Dinamis dan Budaya Desa Adaptif, di mana adat bukan hanya dikenang, tapi dihidupkan bersama.
Tari Tani Melati: Budaya Lokal dalam Strategi Desa Wisata Kaliprau
Bunga melati di Desa Kaliprau diwujudkan melalui pelestarian dan penciptaan budaya lokal yang mencerminkan identitas masyarakatnya. Bunga melati, yang menjadi bagian penting dalam kehidupan warga Kaliprau, menginspirasi lahirnya karya budaya khas berupa Tari Tani Melati. Tari Tani Melati oleh Bayu Kusuma Listyanto dari Sanggar Tari Kaloka, Pemalang. Tarian ini merepresentasikan aktivitas sehari-hari para petani bunga melati, mulai dari bangun pagi, berdoa, bekerja di kebun, memetik dan menyortir bunga, hingga meronce melati menjadi rangkaian.
Tari Tani Melati memiliki tiga versi berdasarkan usia penari: anak-anak, remaja, dan dewasa. Awalnya ditarikan secara berpasangan, namun karena menurunnya minat generasi muda, kini lebih sering dibawakan oleh penari perempuan saja. Selain sebagai pertunjukan, tarian ini juga digunakan sebagai tarian penyambutan tamu penting, diiringi dengan pengalungan bunga melati. Sayangnya, saat ini Tari Tani Melati mulai jarang ditampilkan dan hanya dikenal secara terbatas oleh masyarakat desa. Padahal, tarian ini tidak hanya memperkuat identitas budaya Kaliprau, tetapi juga berpotensi menjadi bagian penting dalam pengembangan pariwisata berbasis budaya lokal.
Meski begitu keberadaan Tari Tani Melati sejalan dengan SDGs Desa Tujuan 18, karena menunjukkan bahwa budaya desa tidak hanya dijaga sebagai warisan, tetapi juga dikembangkan sebagai kekuatan sosial yang hidup, inklusif, dan strategis untuk masa depan.
Sanggar Zahra Tari: Menari untuk Melestarikan, Menyatukan, dan Membuka Dunia
Di tengah desa Kaliprau yang kaya akan tradisi dan sumber daya lokal, berdirilah Sanggar Zahra Tari, sebuah ruang budaya yang tumbuh dari semangat pelestarian, keterbukaan, dan pendidikan. Didirikan pada tahun 2022 oleh Eva Mayasari, seorang pegiat seni yang mencintai tari tradisional, sanggar ini menjadi tempat bertemunya identitas lokal dan semangat global melalui gerak dan irama.
Sanggar Zahra Tari tidak hanya berperan sebagai wadah latihan seni, tetapi juga sebagai pusat pembelajaran budaya tradisional bagi generasi muda. Setiap dua minggu sekali, pada hari Jumat dan Minggu, anak-anak, remaja, hingga mahasiswa berkumpul untuk berlatih bersama, sebuah bentuk pendidikan nonformal lintas usia yang kaya makna. Meski saat ini mayoritas penari adalah perempuan, sanggar ini terbuka untuk semua, termasuk laki-laki, mencerminkan semangat inklusivitas dan kesetaraan.
Dengan repertoar yang kaya, para penari Sanggar Zahra kerap tampil dalam berbagai acara seperti peringatan Hari Kemerdekaan, hajatan desa, dan pertunjukan seni. Mereka membawakan berbagai tari tradisional seperti Jaipong, Gambyong, hingga Tari Tani Melati, sebuah tarian kreasi maknawi khas Kaliprau yang terinspirasi dari kehidupan petani bunga melati, komoditas unggulan desa yang menjadi simbol keindahan dan ketekunan.
Tidak hanya tari, sanggar ini juga menyuguhkan drama tari dan pertunjukan Gareng , menjadikannya ruang ekspresi budaya yang dinamis, adaptif, dan penuh warna. Melalui kegiatan ini, Sanggar Zahra secara nyata berkontribusi pada Tujuan 4 SDGs Desa (Pendidikan Desa Berkualitas) dengan menciptakan ruang belajar budaya yang terbuka dan berkelanjutan. Sekaligus memperkuat Tujuan 18 (Kelembagaan Desa Dinamis dan Budaya Desa Adaptif) karena keberadaannya memperkaya identitas desa dan menumbuhkan regenerasi seni budaya yang hidup.
Sanggar Zahra Tari menjadi wajah diplomasi budaya Kaliprau yang membuka diri, merawat warisan, dan bersiap menyambut dunia melalui kekuatan seni tradisi.